1. Pengertian Kekuasaan dan
Perbedaanya dengan Pengaruh (Influence)
Dalam memahami definisi ‘power’
sering sama dengan otoritas dan pengaruh. Dalam beberapa kasus seseorang
yang memiliki power adalah orang berkuasa. Sosiolog terkenal, Max Weber
(dalam Luthans: 1989:429) mendifinisikan kekuasaan adalah ‘the probability
that one actor within a social relationship will be in a position to carry out
his own will despite resistance’. Kekuasaan sebagai suatu kemungkinan yang
membuat seorang aktor di dalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan
untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang menghilangkan halangan.
Definisi klasik power dalam Hoy dan
Miskel (2005:203) is the ability to get others to do what you want them to
do. Owens (1995:116), mendefinisikan ‘power is the basic energy for
initiating and sustaining action that translates intention into reality when
people try to work collaboratively’. Adapun Cavanaugh (dalam Tyson dan
Jackson, 2000:106) mengemukakan bahwa kekuasaan merupakan sebuah konsep yang
multisegi yang telah dianalisis dari berbagai perspektif: sebagai karakteristik
individual, sebagai proses pengaruh interpersonal, sebagai komoditas yang
diperdagangkan, sebagai tipe penyebab, dan sebagai topik dalam mempelajari
nilai dan etika.
Yulk (2001:172) kekuasaan melibatkan
kapasitas dari satu pihak (agen) untuk mempengaruhi pihak lain (target).
Pernyataan Yulk diatas dipertegas oleh Gordon (1991:409) ‘individual with a
high need for power try to influence and control others, seek leadership
positions in group, enjoy persuading others, and are perceived by others as
outspoken, forceful, and demanding. Keberhasilan seseorang dalam
mempengaruhi bergantung pada tingkatannya. Keberhasilan ini dapat terlihat dari
pencapaian efek yang diharapakan dari target atau pengaruh lebih rendah dari
yang diharapkan. Yulk (2001:173) mengemukakan tiga hasil upaya pengaruh yaitu
komitmen, kepatuhan, dan perlawanan. Dimana masing-masing definsi dijelaskan
sebagai berikut.
Komitmen menjelaskan hasil dimana
seorang target secara internal menyetujui keputusan atau permintaan agen dan
memberikan dukungan penuh untuk melaksanakan apa yang menjadi permintaan atau
mengimplementasikan keputusan secara efektif. Kepatuhan menjelaskan hasil
dimana target bersedia melakukan apa yang agen inginkan tetapi lebih didasarkan
pada rasa apatis daripada rasa antusiasme dan hanya memberikan sedikit
dukungan. Sedangkan perlawanan menjelaskan hasil dimana seorang target
menentang proposal atau permintaan, bukan hanya untuk tertarik saja, dan secara
aktif berusaha menghindari untuk tidak menjalankannya.
Adanya tiga hasil yang berbeda dalam
mempengaruhi orang ini berkaitan dengan motif dan persepsi orang/target dalam
hubungan dengan tindakan orang yang memberikan pengaruh dan konteks dimana
interaksi itu terjadi. Sehingga kondisi psikologi seseorang sangat menentukan
tingkat keberhasilan dalam memberlakukan pengaruh ini.
Dari beberapa definisi tersebut
kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu potensi atau suatu pengaruh. Penggunaan
kekuasaan selalu mengakibatkan perubahan dalam kemungkinan bahwa seseorang atau
kelompok akan mengangkat suatu perubahan perilaku yang diinginkan. Perubahan
ini oleh Rogers sebagai pengaruh (influence). Pengaruh memiliki
jangkauan yang lebih luas dari kekuasaan.
2.
Perspektif Kekuasaan Mintzberg
Henry Mintzberg (dalam Hoy dan
Miskel, 2005:213) mengemukakan cara lain dalam menganalisis kekuasaan di dan
sekitar organisasi. Power dalam organisasi dapat dikontrol dari aspek sumber
daya, keterampilan teknis atau ilmu pengetahuan. Dalam beberapa kasus, ketiga
aspek diatas penting fungsinya dalam organisasi.
Mintzberg juga mengemukakan empat internal
power system yang kesemuannya merupakan bentuk dasar dalam mengontrol
organisasi. Keempat sistem kekuasaan ini yaitu sistem otoritas, sistem
ideologi, sistem ahli, dan sistem politik. Keempat sistem kekuasaan ini
dijelaskan pengertinya sebagai berikut (Hoy dan Miskel, 2005:214).
The
system of authority is the formal flow of power through legitimate channels.
There are two subsystem of control here, personal and bureaucratic. The system
of ideology is the informal agreements among teachers about the school and its
relations to other group. The system of expertise is the interplay among
experts or professionals to solve critical contingencies that the organization
confronts. The system of politic is the network of organizational politics,
which lack the legitimacy of the other three system of power.
Sistem otoritas merupakan aliran
formal kekuasaan yang melegitimasi, sehingga terdapat subsystem yang
mengontrol yaitu pribadi dan birokrasi. Sistem otoritas ini merupakan tahap
awal dalam administrasi sekolah. Sistem ideologi merupakan persetujuan
diantara para guru tentang sekolah dan hubungannya dengan sekolah lain. Sistem
ideologi ini dapat memberikan pemahaman tentang misi pada seluruh warga
sekolah. Kepala sekolah sebagai seorang pemimpin merupakan aktor utama dalam
pengembangan ideologi.
Ketika sistem otoritas dan ideologi
telah diberlakukan dalam sekolah, maka tingkat keberagaman pekerjaan akan
meningkat. Pada saat ini diperlukan sistem ahli/profesional. Kepala sekolah
perlu mendiskusikan dengan ahli terkait permasalahan yang dihadapi sekolah.
Dengan demikian sekolah akan memiliki perkembangan/perluasaan dalam struktur
organisasi yang memberikan dampak pada birokrasi yang profesional.
Dari pemaparan diatas Hoy dan Miskel
(2005:216) memberikan kesimpulan dalam penentuan sistem kekuasaan bagi kepala
sekolah yang efektif, yaitu: (a) Menyampaikan sistem otoritasnya, otoritas
formal saja tidak cukup untuk pemimpin; (b) Membawa pada sistem ideologi,
termasuk budaya organisasi dan organisasi tidak resmi merupakan sumber lain
otoritas; (c) Membawa sistem profesional, dapat dilakukan dengan mendiskusikan
kekuasaan dengan guru untuk memberdayakan mereka; dan (d) Ketahui dan
pahami tentang sistem politik.
3.
Pengertian Otoritas (Authority)
Bolman dan Deal (dalam Hoy dan
Miskel 2005:203) berpendapat bahwa otoritas merupakan salah satu dari bentuk
kekuasaan, dimana organisasi di ciptakan dan di kontrol oleh otoritas termasuk
didalamnya penentuan tujuan, desain struktur, pengaturan pegawai, dan monitor
aktivitas untuk mencapai tujuan organisasi.
Bernard (dalam Luthans, 1989:
429-430) mendedinisikan otoritas (authority) sebagai ‘the character
of a communication (order) in a formal organization by virtue of which it is
accepted by a contributor to or member of the organization as governing the
action he contributes. Yulk (2001:173) memberikan penjelasan bahwa otoritas
melibatkan hak, preogratif, kewajiban, dan tugas yang berkaitan dengan posisi
khusus dalam organisasi atau sistem sosial.
Pemimpin yang memiliki wewenang
langsung terhadap seorang target mempunyai hak untuk membuat permintaan yang
konsisten dengan otoritasnya, seseorang yang menjadi target itu memiliki
kewajiban untuk mematuhinya. Sehingga otoritas berbeda dengan kekuasaan, karena
otoritas terdapat legitimasi dan penerimaan. Weber (dalam Hoy dan Miskel,
2005:203) mendifinisikan otoritas sebagai ‘the probability that certain
specific commands (or all commands) from a given source will be obeyed by a
given group of persons’.
Terdapat dua kriteria otoritas dalam
sekolah antara hubungan kepala sekolah dan wakil kepala sekolah/guru yaitu: (a)
voluntary compliance to legitimate command; and (b) suspension of one’s own
criteria for decision making and acceptance of the organizational command (Hoy
dan Miskel, 2005:204). Sehingga dalam hubungan kepala sekolah dan wakil/guru,
otoritasnya dapat berupa kerelaan dalam pemenuhan perintah legitimasi dan
penilaian yang dimiliki oleh seorang dalam pengambilan keputusan dan menerima
perintah dalam organisasi.
Dari penjelasan diatas, Blau dan
Scott menyimpulkan bahwa karakteristik dasar dalam hubungan otoritas adalah
kesediaan subordinate (wakil kepala sekolah/guru) untuk menunda
keinginannya dalam menetukan keputusan dan mengikuti petunjuk dari superior (kepala
sekolah) (dalam Hoy dan Miskel, 2005:204).
Hoy dan Miskel (2005:204)
mengemukakan hubungan otoritas dalam sekolah memiliki tiga karakteristik,
yaitu: (1) a willingness of subordinate to comply; (2) a suspension of the
subordinate’ criteria for making a decision prior to a directive; and (3) a
power relationship legitimized by the norm of group.
Otoritas dapat berjalan ketika ada
kepercayaan (norma) dalam suatu legitimasi sekolah dengan menggunakan kekuasaan
yang benar dan tepat. Weber (dalam Hoy dan Miskel, 2005:204) membedakan tiga
jenis otoritas, yaitu karismatik, tradisional, dan legal (sah).
Max Weber membagi otoritas
atas tiga jenis yakni otoritas karismatik, otoritas tradisional dan otoritas
legal (Hoy, 2007: 204).
- Otoritas karismatik, lahir karena adanya kepercayaan anggota masyarakat pada seorang individu pemimpin yang memiliki kesaktian luar biasa atau keutamaan-keutamaan pribadi. Otoritas karismatik ini seringkali tidak rasional, emosional dan sepenuhnya bergantung pada karakteristik dan kualitas pribadi pemimpin.
- Otoritas tradisional merupakan otoritas yang didasarkan pada keyakinan akan kesucian kedudukan pemimpin. Karena alasan itu, kedudukan pemimpin merupakan sesuatu yang patut dihormati. Ketaatan pada otoritas ini merupakan sebuah tradisi yang diwariskan turun temurun.
- Otoritas legal merupakan otoritas yang didasarkan pada hukum dan diperoleh secara formal melalui prosedur yang benar. Dengan kata lain, kedudukan seorang pemimpin memiliki dasar rasional dan dasar hukum. Ketaatan bawahan kepada pemimpin tidak terletak pada pribadi atau kedudukan pemimpin melainkan pada hukum.
Robert Peabody (dalam Hoy dan
Miskel, 2005:205) membedakan otoritas menjadi otoritas formal, fungsional, dan
informal. Blau dan Scott (dalam Hoy dan Miskel, 2005:205) memberikan penjelasan
yang ringkas yaitu formal atau informal berdasarkan pada sumber legitimasi dari
kekuasaan.
- Otoritas formal berada dalam organisasi dan secara legal ditetapkan dalam posisi, peraturan dan ketentuan. Dalam batas tertentu, pihak organisasi (pemimpin) berhak untuk memberikan perintah sementara para bawahan wajib untuk mentaati perintah tersebut.
- Otoritas fungsional merupakan otoritas yang berasal dari berbagai sumber seperti kompetensi dan kepribadian individu. Kompetensi ini tidak dibatasi oleh posisi atau kedudukan sesorang. Kemampuan teknis dapat juga menjadi sumber kontrol dan perintah yang legal dalam sebuah organisasi formal tanpa sebuah kedudukan tertentu.
- Otoritas informal merupakan otoritas yang bersumber dari perilaku pribadi dan atribut tertentu yang dimiliki individu. Di luar dari sebuah kedudukan formal, beberapa anggota organisasi tertentu membentuk sebuah norma kesetiaan untuk mendudukung rekan mereka. Norma yang informal ini mendukung dan melegitimasikan kekuasaan dan memberikan sebuah otoritas informal.
D. Sumber Kekuasaan
Budiradjo (1984) memberikan penjelasan
tentang kekuasaan memiliki tiga sumber. Adapun sumber kekuasaan itu berasal
dari aktor (orang yang kerkuasa), karakteristik orang yang dipengaruhi dan
situasi organisasi. Dari ketiga sumber diatas yang kemudian memunculkan
seseorang memiliki kuasa.
1.
Kekuasaan yang Bersumber dari Aktor atau Orang yang Berkuasa.
Sejarah sumber kekuasaan (dalam
Thoha, 2009:332)dapat ditelusuri dari pernyataan Machiavelli yang dikemukakan
pada abad ke-16, dimana dikemukakan hubungan yang baik tercipta jika didasarkan
atas cinta (kekuasaan pribadi) dan ketakutan (kekuasaan jabatan). Berangkat
dari pernyataan tersebut selanjutnya Amitai Etziomi membahas sumber kekuasaan
ada dua yaitu kekuasaan jabatan (position power) dan kekuasaan pribadi (personal
power).
Yulk (2001:175) mengklarifikasikan
kedua sumber kekuasaan ini dengan komponennya yaitu kekuasaan posisi (kekuasaan
yang memiliki legitimasi, kekuasaan memberikan penghargaan, kekuasaan memaksa,
kekuasaan akan informasi, kekuasaan secara ekologis) dan kekuasaan personal
(kekuasaan berdasarkan keahlian). Selanjutnya Peabody (dalam Thoha, 2009:333)
membagi sumber kekuasaan menjadi empat kategori, yaitu: kekuasaan legitimasi
(undang-undang, peraturan, dan kebijakan), kekuasaan jabatan, kekuasaan
kompetensi (keahlian teknis dan professional), dan kekuasaan pribadi.
Disisi lain kekuasaan tetap
merupakan kualitas abstrak yang memampukan kapasitas. Tokoh pelopor sumber
kekuasaan sehingga hasil temuannya sampai meluas dan digunakan oleh para
peneliti lanjutan adalah John R. P. French dan Bertram H. Raven (dalam Owens,
1995:118; Hoy dan Miskel, 2007: 208; Yulk, 2001:175; Luthans, 1989:430; Tyson
dan Jackson, 2000:106-107) yang mengidentifikasi lima sumber kekuasaan, yaitu:
(1) Reward
power: controlling reward that will induce other to comply with the
power-wielder’s wishes; (2) Coercive power: having control of potentially
punishing resources that will induce other to avoid them; (3) Expert power:
having knowledge that others want to themselves so much that they will be
induced to comply with the power-wielder so as to acquire the knowledge or
benefit from it; (4) Legitimate power: having authority conferred by holding a
position in organization that is recognized by others as having a legitimate
right to obedience; (5) Referent power: when a power holder has personal
charisma, or ideas and beliefs so admired by others that they are induced by
the opportunity to be not only associated with the power holder but, insofar as
possible, to become more like him or her.
Thoha (2009:332-333) mengemukan tentang perkembangan sumber
kekuasaan dari pandangan French dan Raven. Dimana dalam penelitian lanjutan
Raven bekerja sama dengan Kruglanski menambahkan kekuasaan keenam yaitu
kekuasaan informasi (information power). Berikutnya pada tahun 1979,
Hersey dan Goldsmith mengusulkan kekuasaan yang ketujuh yaitu kekuasaan
hubungan (connection power).
Simpulan :
Seorang yang memiliki kekuasaan cenderung untuk menerapkan kekuasaannya dengan semena-mena, sehingga kekuasaan ini juga akan memicu adanya konflik antar pribadi. Dengan adanya ‘penyelewengan’ kekuasaan ini yang akan berakibat pada hilang/diperolehnya kekuasaan. Seseorang yang memiliki kekuasaan cenderung memiliki kemampuan intelektual yang diatas rata-rata. Akan tetapi kekuasaan ini perlu dikendalikan dalam penggunaannya, sehingga seseorang perlu untuk memiliki kecerdasan emosional dan spiritual. Dengan adanya tiga kecerdasan yang mengiringi seorang pemimpin/orang yang memiliki kuasa, maka insyaallah kekuasaan ini akan terjaga dengan baik.
Budiarjo, M. 1984. Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan. Jakarta: Sinar Harapan.
Gordon, J. R. 1991. A Diagnostic Approach to Organizational Behavior. Boaston: Allyn and Bacon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar